Selasa, 29 April 2008

UNDANGAN WORKSHOP PERFORMANCE ARTS 2008, BEKASI

UNDANGAN :
WORKSHOP PERFORMANCE ARTS 2008
DEWAN KESENIAN BEKASI
HARI&TANGGAL : SABTU, 03 MEI 2008
TEMPA : GEDUNG SENI DKB - KOMPLEK GOR BEKASI
WAKTU : 10:00 (On Time) - SELESAI (MAGHRIB)
PEMATERI : - Amien Kamil (Republic of Performance Arts)
- S S Listyowati (Research of Performance Arts)
Pementasan : Ayi Noe (JEPRUT)
GRATIS......
info : Ayi_Noe (0852 1618 5686 & 021-9284 5321)

Yakinlah...

Yakinlah wahai malam, pagi akan datang walau tak selalu cerah…

Yakinlah wahai kelana, pujangga itu akan hadir walau tak selalu dengan kata indah….

Yakinlah wahai diri, jati itu akan ada walau tak selalu menjadi inti…..

Nurani yang terkungkung tak bermakna lagi, karena sanubari itu mungkin tak berkilah sebagaimana mestinya seperti insting……

Kata tak lagi bermakna ketika hati tak dapat merasakan laku……

Getir dalam nadir kaum pandir mungkin tak dapat terlihat, tapi itu mungkin yang harus dirasakan oleh diri, jangan mangkir ataupun menyingkir…..

Musim telah berganti, namun pikir harus tetap pada polanya……

Peka dalam masa-rasa, merangsang mata hati untuk berkata dan bertindak serta merta untuk bijak dalam menghadapi sesuatu pada prosesnya…….

Jangan merasa besar, ataupun kecil….

Karena semua bisa saja besar, bahkan kecil…..

Yang harus disikapi mungkin bagaimana menyikapi semua apa yang hadir di depan dengan bijak dan arif…..

Semua ruang-waktu adalah proses pada kehidupan semu ini…..

Yang terpenting adalah bangun dan sadar dari mimpi-mimpi yang membuai diri hingga terkadang lupa akan kenyataan yang semu, bertindaklah bijak dan arif untuk jelang masa kenyataan yang nyata…..

Kenyataan yang nyata adalah hidup di kehidupan setelah kematian dari alam semu ini…….

RENUNGAN BUDAYA

10 Sikap dan Kesadaran Budaya

· Budaya Feodal lawan Budaya Egaliter

Budaya Feodalisme yang menghambat kemajuan harus dilawan dengan sikap dan kesadaran Budaya Egaliter. Sikap egaliter akan selalu menempatkan manusia pada posisi yang setara tanpa memandang status yang diperoleh karena keturunan, kekayaan, jabatan, pendidikan, suku, ras, dan agama/keyakinan.

· Budaya Instant lawan Budaya Kerja Keras

Budaya Instant yang menganggap bahwa bahagia, kekayaan, kesuksesan dan prestasi bisa diraih layaknya kita membalikan tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras. Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberi pengertian kepada anak-anak bahwa korupsi, perilaku tidak jujur, komersialisasi jabatan sampai jual-beli gelar, plagiat atau mencontek adalah contoh dari budaya Instant yang tidak layak diberi tempat di masyarakat.

· Budaya Kulit lawan Budaya Isi

Budaya Kulit atau tampilan luar dalam kehidupan memang penting guna menjaga citra diri atau image, banyak cara yang bisa ditempuh. Kita sudah harus mulai menanamkan kepada anak-anak sejak dini bahwa budaya isi (substansi) jauh lebih penting dari budaya kulit. Bukan kita iri atau cemburu dengan orang sukses dan kaya. Kita ingin agar kekayaan dan kesuksesan mereka dapat lebih bermakna bagi kehidupan banyak orang.

· Budaya Penampilan lawan Budaya Hidup Sederhana

Budaya Penampilan seperti tampil keren, kece, cantik dan hebat sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Tak banyak orang sekarang yang mau dan berani tampil lebih sederhana dari penghasilannya. Bahkan tak jarang orang sudah menghabiskan penghasilannya sebelum penghasilan itu menjadi haknya. Kita sebut budaya kredit dan budaya hutang kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita, bahkan sudah menjadi darah daging dan gaya hidup pemerintah kita. Sementara budaya hidup sederhana akan membuat kita merasa terasing dihadapan tetangga, keluarga atau kolega saat kita berpenampilan serba sederhana. Setiap hari anak-anak kita di beri khotbah oleh pesan-pesan, iklan komersial dan sinetron yang padat akan gaya hidup glamour, agar mereka memuja budaya penampilan. Dimasa depan kita ingin agar anak-anak kita menjadi lebih sederhana dari kita, sekalipun kita tetap berusaha agar mereka jauh lebih sukses dan bahagia dari kita.

· Budaya Boros lawan Budaya Hemat

Budaya kulit atau budaya penampilan jelas telah menjadikan budaya boros begitu telanjang dipelupuk mata kita. Kita jarang berpikir, jangan-jangan perilaku dan gaya hidup serba boros sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Cobalah kita simak di kantor, di jalan, atau di rumah. Bagaimana kita menggunakan tenaga listrik, air, ataupun pulsa telepon, khususnya telepon genggam (HP). Kalau dahulu orangtua memberi anak uang bisa ditabung atau dibelikan emas, sekarang begitu banyak orangtua yang menganggarkan uang untuk pulsa bulanan buat sibuah hatinya dan mungkin ini agak sedikit kedengaran primitif.

· Budaya Apati lawan Budaya Empati

Dengan kesadaran demikian pula kita ingin membuat sikap masa bodoh atau Apati yang membuat kita menutup mata terhadap persoalan disekitar kita segera diganti oleh tumbuhnya generasi yang berkesadaran Empatik. Budaya empati menumbuhkan kepedulian dan kesadaran untuk mendengar terhadap keluhan orang lain atau penderitaan sesama. Generasi empatik adalah generasi yang bisa hidup dalam semangat untuk memberi kepada yang kurang/tidak mampu, dan menyuarakan persoalan publik, serta membebaskan yang tertindas.

· Budaya Konsumtif lawan Budaya Produktif

Budaya yang hanya bisa memakai menghabiskan waktu dan ruang yang tak bermanfaat harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri-konsumen pemikiran dan gaya hidup asing), dimasa depan konstruksi budaya yang paling berat dan krusial adalah bagaimana membuat bangsa ini menjadi bangsa yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tantangn pendidikan kita adalah bagaimana menjadikan generasi konsumtif berubah menjadi generasi produktif.

· Budaya Sampah lawan Budaya Bersih

Sampah akan menjadi persoalan urban yang pelik kalau kita tidak mencari solusi yang lebih terpadu dalam pembangunan dan penataan kota dimasa depan. Kita sekarang hidup dalam “Masyarakat serba membuang”, artinya beli-pakai sekali, setelah itu buang. Untuk itu kita harus menanamkan budaya bersih sejak dini dalam lingkungan keluarga, tetangga, dan masyarakat luas.

· Budaya Terabas lawan Budaya Antri

Kebiasaan Antri juga harus di kampanyekan dan dimasyarakatkan ditempat-tempat milik publik. Kita harus menjadi bangsa yang beradab dan jangan asal Terabas. Budaya Antri menghargai keteraturan yang tidak dipaksakan, tapi tumbuh dari kesadaran dan penghargaan terhadap orang lain.

· Budaya Kompetisi lawan Budaya Kerjasama

Kita memang perlu berkompetisi, asal kompetisi itu sehat dan fair. Karena kita ingin yang terbaiklah yang muncul sebagai pemimpin atau pemenang. Kita harus menanamkan budaya menerima kekalahan secara fair dan menghargai prestasi orang lain agar kehidupan berjalan seimbang dan sehat. Ini baik dalam pendidikan juga dalam demokrasi. Kalau kita sulit membangun budaya kompetisi, minimal kita sudah mulai berpikir, bagaimana cara membangun budaya kerjasama.

Melihat Sedikit DUNIA TEATER

Melihat Sedikit DUNIA TEATER

Begitu luasnya melihat ruang dunia teater untuk dipahami, maka mari bersama-sama kita melihat dunia teater dari yang “sedikit” terlebih dahulu.

Memahami dunia tetaer bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena untuk memahami, menilai, dan mengerti tentang kehidupan teater itu harus benar mengenal lebih dekat dulu, apa dan bagaimana sebenarnya isi dari jagad teater itu, baik menyangkut sejarah pertumbuhan, perkembangan dan segudang persoalannya yang penuh dengan ambiguitas itu.

Memasuki wilayah teater adalah memasuki wilayah yang sangat unik, karena teater bukan sekadar mengenal Dramaturgi, mempelajari seni peran (akting/lakon), dan pernak-perniknya baik yang menyangkut : olah tubuh, vokal, sukma, menganalisa naskah, atau mengenal sederetan nama serta gaya aliran drama dari realisme sampai absurd saja.

Disamping hal yang menyangkut teori dan praktek itu, ada pemahaman-pemahaman dan pembelajaran lebih kongkrit yang menyangkut pada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sehingga ber- proses dalam kegiatan teater terkadang lebih dijadikan sebuah pengalaman hidupnya sendiri yang berharga, karena dia masuk kedalam sebuah pengalaman hidup, atau realita baru yang berkembang, tetapi lebih peka dari kehidupannya sendiri, ini bisa menjadi pemaknaan bahwa ilmu teater dapat direfleksikan pada kehidupan nyata, karena yang menjadi dasar pengasahannya adalah rasa, dari rasalah manusia melakukan tabiat yang baik dan indah.

Tradisi teater Indonesia lebih ber-asaskan pada nilai kekeluargaan (paguyuban) yang tinggi. Sehingga kekuatan nafas kelompok teater itu dapat diukur, sejauh apa ikatan, komitmen, loyalitas dan dedikasinya. Inipun dengan kesadaran bahwa orientasi teater bukanlah mencari uang, karena kenyataanya bahwa teater tidak dapat dijadikan profesi utama dalam mencari nafkah, karena taeter: bukan berbentuk organisasi profit oriented. tidak bisa memberi, tapi harus diberi (subsidi), rasanya belum pernah ada sebuah pementasan teater yang biaya produksinya dapat dicukupi hanya oleh penjualan tiket saja.

Saya menjadi sangat terkesan dengan apa yang pernah ditulis oleh Dramawan : WS. Rendra pada makalah diskusinya. Bahwa modal teater Indonesia adalah kemiskinan : kemiskinan naskah, aktor, sutradara, gedung, penonton, dan modal (baik culture maupun financial). Sementara didalam kerja teater dibutuhkan sebuah loyalitas, disiplin dan kerja sama (bukan sekadar kolektif) yang tinggi.

Teater Indonesia memang penuh pengorbanan. Itu sudah terjadi sejak jaman Jepang, sejak teater menjadi alat propaganda dalam perjuangan, atau sebelumnya. Bahkan sebelum Sinetron dan Film mendominasi dunia peran.

Tetapi ada masa puncak kejayaan teater atau “Musim Semi Teater” yang ditandai ketika diubahnya Kebun Binatang Cikini menjadi Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1970. di era inilah penobatan aktifitas-aktifitas teater yang paling aktif, kreatif dan produktif. Dan ini tidak hanya di Jakarta saja, tapi juga di kota-kota besar lainnya, baik berupa pertunjukan, festival yang berkala, seminar dan diskusi-diskusi formal tentang teater secara umum atau tentang masalah-masalah utamanya. Namun, kejayaan inipun bertahan hanya sampai tahun 90-an dan akhirnya rontok satu per satu di gerus waktu yang berjalan. Teater KOMA salah satu dari sekian kelompok yang mampu bertahan hingga saat ini, itupun dengan produksi yang minim (setidaknya 1 produksi dalam 1 tahun).

Tapi inilah salah satu kepiawaian teater KOMA dengan menjalankan sistemnya, baik manajemen juga ikatan yang kuat, sehingga KOMA termasuk salah satu dari sekian yang terus bergerak dan terbilang mampu bertahan lebih dari 3 dasawarsa, dan menjadikan salah satu kelompok yang terbilang sukses di Indonesia.

Dengan penjelasan tersebut, mungkin bisa menjadi wacana perbandingan untuk lebih memahami bagaimana persoalan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok teater baik yang besar dan professional maupun yang kecil dan amatir. Nyaris keduanya mempunyai persoalan yang sama, hanya saja pada skala yang berbeda. Tapi yang paling penting untuk dicatat dari persoalan ini adalah : daya survivalitasnya dalam mempertahankan dan menjalankan kelangsungan hidupnya di dalam dunia teater.

Idiom teater Indonesia adalah percampuran elemen-elemen dari barat dan etnik, dalam perkembangan dan pertumbuhannya terlibat dalam masalah-masalah yang ada dalam wacana multicultural, sementara orang Indonesia kebanyakan bicultural, baik sebagai budaya atau etnik. Kedua elemen budaya ini sebenarnya sudah menjadi bagian besar dan hanya diterima oleh sebagian kecil penontonnya. Lalu kapan dan bagaimana teater bisa diterima oleh seluruh bangsa..???

Belum selesainya usaha teater mencari metode yang canggih untuk menjerat penontonnya (memberikan Apresiasi). Teater masih harus dihadapkan oleh perubahan alat baru atau millenium change pergeseran paradigma yang semakin memberi ruang keterbukaan bagi masyarakat yang menerima arus teknologi (internet, televiksi, satelit, komunikasi yang semakin canggih), ini menjadi alat penyokong terjadinya penguncupan global village. Ini merupakan tantangan yang mengkhawatirkan bagi kesinambungan teater yang bisa mudah goyah dirubah waktu oleh pengecilan ruang lingkup dunia global yang diakibatkan oleh derasnya arus globalisasi yang tak tertahankan. Maka sikap teater juga harus membuka diri untuk menerima transformasi, mengikuti arus paradigma yang sedang berjalan, sehingga teater mampu menjadi bagian dunia global yang mampu survive untuk alat millennium mendatang. Tapi apapun dan bagaimanapun sulitnya kondisi yang mesti dijalani dan dihadapi, teater haruslah tetap ada, sekalipun belum bisa menjadi bagian dari masyarakatnya…!!!

Pemaparan dalam menyoroti Jagad Teater secara singkat ini, mungkin bisa menjadi bahan ilustrasi. Akhirnya kembali juga menjadi sebuah pertanyaan: sejauh mana orang berminat dan mau belajar tentang ilmu teater..??

Jadi, marilah kita bangun untuk menghadapi perjuangan yang ada, karena perjuangan baru dimulai dan masih panjang..!! Berbicara mengenai masa depan kebudayaan dan kesenian (baik itu teater) bukanlah bicara soal kepastian, tetapi sebuah pilihan (mungkin untuk mencari jati diri dalam teater), bukan sebuah peramalan, melainkan perencanaan. Bukan sebuah perkembangan yang linear, tapi spiral. Dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri pada masanya, melainkan sebuah jaringan yang kompleks. Hubungan total dengan masa lalu dan masa kini…!!!!

TEATER

Dalam pertumbuhan perkembangan teater selama lebih dari 3 dasawarsa terakhir, berbagai gagasan tentang apa dan bagaimana seharusnya teater telah dikemukakan dan dicobakan penerapannya dalam pementasaanya. Kita pernah mendengar berbagai istilah seperti teater sutradara, teater tanpa penonton, teater mini kata, teater lingkungan. Berbagai istilah yang di belakangnya disokong oleh gagasan yang sesuai itu pada dasarnya merupakan ungkapan ketidakpuasan terhadap gagasan yang sudah mapan, yaitu yang terkandung, misalnya, dalam istilah teater aktor, teater dengan penonton (yang banyak), teater dialog, dan teater sastra (lakon); walaupun karena mapannya, semua istilah itu tidak lagi dikemukakan secara eksplisit.

Gagasan teater aktor terutama tertanam dalam kesadaran kita di zaman malang-melintangnya aktor-aktor besar kenamaan. Teater dengan penonton yang banyak merupakan gagasan yang muncul dengan menjadi box office-nya dunia lakon. Kebetulan pula bahwa teater dengan banyak penonton ini merupakan teater dialog dan teater sastra karena didasari sastra lakon (tertulis). Di samping itu, gagasan teater dengan banyak penonton ini sudah barang tentu merupakan bagian dari kesadaran kita karena eratnya hubungan kita dengan teater tradisional kita sendiri, seperti wayang golek, wayang kulit, reog, longser, lenong, dan ketoprak.

Ramainya kemunculan gagasan dan istilah itu layak disambut dengan gembira karena hal itu mengisyaratkan adanya dinamika dan vitalitas dalam kehidupan teater kita. Salah satu kehidupan teater yang paling dinamis dan penuh vitalitas adalah teater barat. Dan salah satu ciri teater barat adalah kesuburannya dalam bidang gagasan ini. Di abad XX saja, dari Eropa Barat kita diperkenalkan kepada gagasan seperti teater realisme, ekspresionisme, surealisme, realisme sosialis, teater art audian, teater absurd, teater kaum tertindas, teater imaji, teater forum, dan teater tak tampak.

Kendatipun demikian, dalam menghadapi ramainya gagasan dan istilah itu, diperlukan kewaspadaan agar kita tidak kehilangan perspektif dan melihat pohon tetapi lupa (tidak melihat) akan hutan.

“Tulisan ini bermaksud menelaah berbagai gagasan di balik aneka istilah itu dan meletakannya dalam perspektif tertentu, dalam hal ini adalah Peristiwa Teater.”

PERISTIWA TEATER

Peristiwa teater adalah suatu gejala yang rumit. Dari permukaannya, kalau suatu pementasan berhasil menciptakan peristiwa teater, kita dapat melihat bagaimana para seniman teater dan penonton disatukan oleh pengalaman atau visi yang sama. Seakan-akan mereka bersedih, bergembira, berharap, khawatir, takut, ngeri, bingung, paham, dan sebagainya secara bersama-sama. Para seniman mengungkapkan pengalaman atau visi dengan tempo dan irama, dengan pemeranan dan perupaan, dengan kata dan bunyi demikian rupa, hingga penonton diam, tertawa, menangis, merenung, marah, dan sebagainya di tempat dan pada saat yang sesuai dengan yang dituntut pengalaman dan atau visi bersama itu.

Di bawah permukaan itu terjadi proses kejiwaan yang tidak sederhana pula. Para seniman teater, meliputi sutradara, penata artistik, dan para pemeran (pemain), secara bergilir dan atau juga bersama-sama berupaya melibatkan penonton untuk menangkap pengalaman yang jernih, meluas, dan mendalam tentang suatu pokok. Dengan kata lain, para seniman teater berupaya melibatkan penonton dalam suatu upaya menangkap visi, lepas dari apakah visi itu terkandung dalam sastra lakon tertulis karya seorang dramawan (pengarang) atau sastra lakon dalam bentuk mitos, legenda, atau cerita rakyat yang tidak tertulis atau berbentuk sastra lisan.

Mengapa para seniman (teater) berupaya melibatkan penonton dalam kegiatan bernama menangkap visi itu.? Bukankah kadang-kadang upaya itu tidak mendatangkan keuntungan dari sudut keuangan dan bahkan sering menuntut pengorbanan.?! Mengapa pula penonton bersedia bersusah-susah dalam upaya yang kadang-kadang tidak mudah untuk menangkap visi itu.?

Jawabnya terletak pada naluri menyelamatkan diri, pada naluri survival of the species. Semua jenis hewan dibekali perlengkapan khusus dalam melaksanakan naluri penyelamatan dirinya itu.perlengkapan ini disesuaikan dengan gaya hidup dan lingkungan masing-masing. Harimau diberi taring dan otot yang kuat dan lentur, banteng diberi tanduk yang tajam, bunglon diberi kemampuan mimikri, dan seterusnya. Dalam melaksanakan naluri penyelamatan dirinya, manusia tidak diberi perlengkapan khusus, melainkan perlengkapan umum, yaitu akal-budi (intelegensi). Itulah sebabnya dalam melaksanakan nalurinya itu, manusia harus menciptakan perlengkapan, pranata, lembaga, perangkat (khusus) sendiri melalui intelegensinya itu. Semua ciptaan manusia yang berwujud perangkat lunak dan atau keras itulah disebut kebudayaan. Seni, termasuk teater sebagai bagian dari kebudayaan, memiliki fungsi survival atau penyelamatan diri ini.

Bagaimana sebagai seni menyumbangkan iurannya kepada masyarakat (penonton) dalam rangka masyarakat (penonton) itu melaksanakan naluri penyelamatan dirinya.? Jawabnya ialah dengan memberi peluang kepada seniman maupun masyarakat (penonton) untuk menangkap dan memiliki visi tentang salah satu sisi (aspek) kehidupan. Melalui peristiwa teater, para seniman dan masyarakat (penonton) diberi peluang untuk memahami dan menghayati secara jernih, meluas, dan mendalam, suatu sisi kehidupan. Setelah terlibat dalam peristiwa teater dan menangkap visi, seniman dan (masyarakat) penonton mendapat peluang untuk lebih siap dalam menghadapi kehidupan, khususnya sisi kehidupan yang berkaitan. Lebih siap berarti lebih besar memiliki peluang untuk survive, untuk menyelamatkan diri, secara jasmaniah, dan terutama secara rohaniah.

Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa dalam peristiwa teater yang sejati terjadi kreativitas bersama antara seniman yang sejati dan masyarakat penontonnya. Terjadi proses dialektis antara prakarsa dan peran serta dalam suasana kebebasan dan kesukarelaan menuju kearah penjernihan, peluasan, dan pendalaman kesadaran tentang kehidupan. Kesejatian peristiwa teater seperti itu perlu digarisbawahi karena apa yang mungkin tampak di permukaan seperti peristiwa teater, setelah diamati lebih seksama ternyata merupakan peristiwa masturbasi kolektif, manakala impian yang bersifat menghindar dari realitas atau rasa frustrasi yang tidak diatasi, dikunyah-dimamah bersama-sama. Peristiwa teater sejati yang erat hubungannya dengan naluri survival memperkuat mereka yang terlibat, sementara penyimpangan dalam bentuk dan dalih apa pun cenderung memperlemah.

Mungkin dapat disimpulkan, bahwa peristiwa teater (sejati) dicapai dan diwujudkan melalui kerja dan kerja sama yang seksama. Dalam kerja teater yang melalui langkah-langkah perencanaan, persiapan dan pelaksanaan serta penilaian (evaluasi) itu terlibat dramawan (pengarang), sutradara, pemeran, dan penata artistik serta penonton. Kadang-kadang dramawan tidak terlibat kalau cerita yang dijadikan dasar merupakan sastra lisan yang sudah dikenal. Dalam peristiwa teater seperti itu, sutradara mengambil alih peran dramawan (pengarang) dan sekaligus menyusun dan mengendalikan perkembangan dramaturgi pementasan. Kadang-kadang sutradara pun tidak hadir sehingga peranan pengarang dan sutradara diambil alih oleh pemeran secara kolektif atau perorangan. Penata artistik dapat diabaikan, dan segala beban pengungkapan visi diserahkan kepada pemeran. Siapa yang hadir atau tidak hadir, siapa yang memegang supremasi (pengarangkah.? Sutradarakah.? Pemerankah.? Penata artistikkah.?) tidak niscaya menghasilkan atau menghasilkan peristiwa teater (sejati). Bukan saja faktor penonton sangat menentukan, tetapi bahkan kalau penonton (hipotesis, sasaran) sudah dipilih dengan seksama pun, masih banyak faktor yang tidak terkendali yang menentukan. Dengan kata lain, teater sutradara, teater aktor, teater mise en scene, teater tanpa penonton (misalnya teater tak tampak model Auguste Boal), teater forum, teater sastra, teater benda, dan sebagainya, sebenarnya memiliki peluang yang sama untuk berhasil atau gagal dalam mewujudkan peristiwa teater.

TEATER saja

Namun munculnya gagasan dan istilah itu, bukannya tidak berarti atau tidak penting. Munculnya gagasan dan istilah itu biasanya merupakan jawaban terhadap masalah khusus yang dihadapi seorang atau sekelompok seniman teater dalam keadaan, tempat, dan waktu tertentu. Jika kita mengambil perbandingan dengan teater barat, kita melihat bagaimana ketika teater realisme konvensional melalui rekayasa komersialisme menjadi mandul dan tidak lagi kreatif, Antonin Artaud mencanangkan teater kekajaman-nya; dan ketika teater dijajah sastra, dengan kata lain supremasi dipegang dramawan-sastrawan, Antonin Artaud mencanangkan teater mise en scene. Demikian pula halnya dengan Brecht, yang melihat kecenderungan yang kuat kearah masturbasi-emosional yang dapat ditimbulkan oleh realisme konvensional, melawannya dengan gagasan teater epik sekaligus realisme sosialis. Grotowsky kemudian mengembalikan supremasi kepada aktor, itu tidak dilakukannya dengan tanpa alasan atau tujuan, melainkan karena tuntutan keadaan, yaitu menjadi mewahnya teater dari segi sarana dan perlengkapan, akan tetapi menjadi miskin secara spiritual. Daftar gagasan dan para tokohnya dapat diperpanjang lagi, namun satu hal perlu disadari bahwa tidak ada di antara berbagai gagasan itu yang berupa panacea atau obat mujarab untuk semua penyakit. Karena faktor yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan, dan karena keadaan yang terus-menerus berubah, berbagai gagasan itu memiliki peluang yang sama untuk gagal atau berhasil dan terus-menerus ditinjau kembali.

Dalam upaya untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap keadaan dan perubahan dan agar tetap kritis terhadap gagasan yang kita gunakan dalam menghadapi tantangan dan tuntutan keadaan tertentu, seyogianya kita senantiasa menyadari bahwa tujuan kita adalah mewujudkan peristiwa teater dan untuk mencapai tujuan itu kita harus mengubah-ubah tekanan (supremasi, prioritas, dan sebagainya). Dan, untuk justru tidak terjebak dalam salah satu tekanan saja, dan sadar akan tekanan yang harus selalu berubah (shifting point, kata Peter Brook), tidak ada salahnya kita tetap sadar pada gagasan “tetaer sebagai teater”. Atau “teater sebagai teater saja”.

JEPRUT

Jeprut adalah sesuatu yang “putus”, yang tak “main stream”, yang entah apa. Dia adalah kapas sebelum menjadi kain, dan kain sebelum menjadi baju. Jeprut itu mencari atau menemukan. Jeprut terjadi karena seseorang (siapapun) mendekonstruksi dirinya, dan “lelah” dengan apa yang (sudah) ada (di lingkungannya minimal). Lalu Jeprut menjadi beras kembali yang siap menjadi lontong, menjadi ketupat, menjadi bubur. Karenanya dia – Jeprut – itu tak keberatan dibilang/disebut “bukan” kesenian. Jeprut berpihak pada lima indera, satu nurani, satu intuisi, dan banyak – amat banyak – kemungkinan.

Ciri Jeprut itu : mesti jujur, mesti mempertanyakan, mungkin mesti tak tahu mau apa sebenarnya, butuh sadar lingkungan, butuh menghargai dan sadar akan total (self-selves) yang ada di sekitarnya, manusia, benda, ruang, dll. Dan melebur dalam : desa, kala, patra (tempat-ruang ; waktu-kronologis ; situasi-suasana-yang real), untuk mencoba kembali menyatukan rasa, vibrasi, kesementaraan (dalam waktu linear).

Jepruter berharap memberikan tontonan yang (maunya) “mengetuk, menusuk, menggedor, mengajak, merasakan dalam kehadiran langsung, mengkilik-kilik, mengajak bertanya dan ‘share’ dengan yang lain, ‘other self’, mungkin waktu lain, ruang lain, komunikasi lain apapun namanya“. – meningkat pada (maunya yang lain) seperti : saling mengingatkan, saling menguatkan, saling berbagi enerji, dalam perjalanan singkat kehidupan.

Jeprut (selalu) lahir dalam diri raga, diri jiwa, diri batin, ketika manusia bermetamorfosa mencari, mencari, mencari, mencari, dan mencari, sampai menemukan, menemukan, menemukan, entah apa …..

Perjalanan siklus mencari – menemukan – mencari mungkin sebuah tapak lacak berupa karya atau tan karya, ada atau tiada, mengemuka atau tenggelam, sepi atau hingar bingar, komedi atau tragedi, kaku atau lentur, besar atau kecil ….. tapi selalu ada ….. selalu ada.

Jeprutan (sebagai suatu action) mungkin berupa keserempakan menerima dan memberi. Saling membukakan. Kejujuran yang dilatih dari hari ke hari. Karena percaya (tiap) manusia yang mengasah pikirannya, mengasah rasa (kawruh rasa)nya, tubuhnya akan (selalu) menangkap pesan-pesan semesta dari sesuatu yang hina dina, kecil, sampah, tak bermartabat, pinggiran, karena percaya setiap eksistensi adalah Jalan. Adalah Tao. Adalah Enigma. Adalah Rahasia.

“Merasa lebih adalah mengakui kekurangan yang tak disadari. Merasa kurang adalah berbeda, yang merupakan awal dari kesadaran (akan) semesta”.

Jeprutan barangkali adalah “egaliterianisme” dan memahami, bukan instruksi dan indoktrinasi. Mengalir tidak beku. Meleleh smeleh. Merasakan sama-sama. Belajar sama-sama. Memahami dan tak memahami. Sudah dan akan. Akan dan sedang. Sedang mengalami.

Jadi jika mau bergetar juga, masuklah saja dengan ikhlas, lalu mengalir bersama. Menuju laut ….. laut dalam diri sendiri, ketika ada, ketika tiada ada. Laut dalam kecipak sama-sama, karena manusia ibarat ikan dalam selongsong kulit – daging - tulang.

“ ….. Aku hanya tidak tahu ….. kadang hidup dapat dengan mudah dimengerti dan diuraikan, tapi bagian yang lain selalu menjadi misteri dan dipertanyakan”.

Seperti bilangan prima, tak habis dibagi ….. selalu tak habis dibagi ….. !

Dari sejak angka-angka lahir, sampai (entah kapan) angka-angka kembali.

Dari kosong kosong ke ada ada ke kosong kosong kembali.

Paguyuban "Nyukcruk Galur"

PAGUYUBAN “ NYUKCRUK GALUR “

Paguyuban Nyukcruk Galur merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat kedaerahan. Kata paguyuban diambil dari kata Guyub dalam bahasa Sunda yang artinya Kumpul, sementaraNyukcruk Galur adalah menelusuri jejak tapak para leluhur nenek moyang dalam menggali ajaran-ajaran cara hidup dan perilaku antara hubungan : manusia dengan manusia, manusia dengan mahluk lainnya (alam), dan manusia dengan Sang Kholik. Paguyuban Nyukcruk Galur berangkat dengan sebuah rasa rindu akan nuansa masa lalu, yang di lakukan oleh para pendahulu dimana faktor alam begitu bersahabat dengan mahluknya. Keharmonisan dapat dipertahankan, walaupun pada saat ini tingkat ilmu pengetahuan sangat jauh berkembang di bandingkan masa lalu. Memang teknologi dan arus perubahan pada tatanan modernisasi tidak dapat di bendung, namun setidaknya ada sebuah upaya mengembalikan apa perbandingan perilaku nenek moyang kita dahulu dengan perilaku manusia yang sudah menggunakan teknologi dan modernisasi. Jika dilihat secara ruh, perilaku, etika, norma, ajaran-ajaran kesukuan (kearifan lokal), kita dapat melihat betapa harmonisnya pada masa lalu dengan lebih berpijak pada sebuah penghargaan dan penghormatan kepada alam, sehingga saling terpelihara dan terjaga, begitupun manusia sebagai mahluk yang utama selalu mendapat keberkahan.

Dikarenakan rasa dan cinta dengan ketulusan di pelihara yang saat itu lebih dominan adalah ikatan rasa batin yang sangat melekat. Tapi apabila dilihat pada perkembangan dewasa ini boleh kita analisis perkembangan teknologi dan arus modernisasi dengan cepat menggilas pola piker terutama rasa pada diri manusia berubah 90 derajat, salah satu rasa yang sudah berkurang pada diri manusia dewasa ini adalah rasa ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran. Walaupun agama sebagai pegangan, namun agama pun telah di campur-adukan dengan permainan dunia sehingga kontrol kerohanian tidak terfokus, bagaimana manusia itu dapat mengendalikan akalnya.? Sehingga sering ditemukan pada saat ini manusia yang kurang percaya diri, cepat frustrasi dan melakukan tindakan yang instant untuk mengakhiri hidup dengan cara membunuh diri sendiri karena sudah tidak bisa mengendalikan rasa dan keharmonisan akal dan batinnya.

Dari analisa itulah, maka kami sebagai generasi muda merasa terpanggil untuk menelaah dan mengkaji tentang ajaran-ajaran tradisi yang turun temurun dari ruh nenek moyang (karuhun) yang telah memberikan tata cara perilaku dalam hablum minanas (hubungan antar sesama manusia, alam dan mahlukNYA). Untuk mengembalikan ruh masa lalu tidak mungkin, karena masa lalu adalah sebuah dasar dan inspirasi untuk menjalankan masa kini dengan memberikan kepastian masa yang akan datang. Dengan mengucapkan Asma Allah, maka kami menyatakan mendirikan sebuah organisasi kedaerahan yang diberi nama “Paguyuban Nyukcruk Galur”. Dengan berazazkan : Nasionalis, Tradisional, Religius.

Didirikannya Paguyuban Nyukcruk Galur dengan dasar untuk merangkul generasi muda agar paham dan mengerti tentang perjalanan tradisi masa lalu yang dipertahankan oleh nenek moyang kita (karuhun) sampai saat ini, dan melihat dari rasa ketekunan dan kesabarannya dalam menjalani kehidupan jiwa-jiwa kreatifitas masa lalu sangat berharga di bandingkan dengan saat sekarang, karena pemikiran dan perilaku masa lalu berupaya tidak menyakitkan kepada alam dan mahluk lainnya. Dan semua itu tidak hanya di jadikan jargon dan symbol-simbol saja, namun benar-benar di terapkan dalam perilaku keseharian. Sehingga nampak tingkat intelegensi spiritualnya pada masa lalu lebih tinggi di banding dewasa ini. Walau ajaran-ajaran luhur tradisi di dalam tingkat pengetahuan dan telnologi sangat jauh berkembang, namun ada yang lebih berbahaya mengenai rapuhnya jiwa dan rasa yang semakin melemah, sehingga menggeser kepribadian jati diri dan tak mengenal diri, akibatnya mengalami kegundahan bahkan hingga kegoncangan jiwa…